PREPARED H. ASEP SYAEFURRACHMAN,S.Ag
Berikut ini adalah binatang yang dihukumi halal dan haram untuk dikonsumsi berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah dari penjelasan para ulama. Di antaranya yaitu:1. Semua hewan buas yang bertaring.
Sahabat Abu Tsa ’labah Al- Khusyany -radhiallahu ‘anhu-berkata:
أَ“ Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-melarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring ”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram ”.
Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya. [Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)]
2. Semua burung yang memiliki cakar.
Yang diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali.
Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik-dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-:
“ Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar ”. (HR. Muslim) [Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni' (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)]
3. Jallalah.
Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain, baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak. Lihat Nailul Author (8/128).
Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu riwayat- dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi ’iyah, mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata:
“ Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya ”. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`i (3787))
Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah:
1. Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni ’ (3/529).
2. Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28). [Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]
4. Daging babi.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam firman-Nya:
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya ”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Yang diinginkan dengan daging babi di sini adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya.
5. Keledai jinak (bukan yang liar).
Ini merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian riwayat darinya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“ Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis ”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir -radhiallahu ‘anhu- berkata:
“ Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak ”. (HR. Muslim)
Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang pengharamannya”. Lihat Al-Mughny beserta Asy-Syarhul Kabir (11/65). [Al-Bada`i' (5/37), Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/525), dan Al-Bidayah (1/344)].
6. Kuda.
Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu ‘anhuma-:
“ Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu‘alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi ’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440). [Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]
Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“ Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy)
Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan. [Al-Majmu' (9/27), Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)].
8. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
“ Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya“.
Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga. Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing.
9. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.
Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya. [Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]
10. Monyet.
Ini merupakan madzhab Syafi ’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka.
Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)”. Lihat Al-Muhalla: (7/429)
11. Gajah.
Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-.
12. Musang (arab: tsa’lab)
Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
13. Hyena (arab: Dhib’un)
Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena (kucing padang pasir). Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “Apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “Ya”. Saya bertanya lagi, “Apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “Boleh”. Saya kembali bertanya, “Apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “Ya”. Diriwayatkan oleh Imam Lima dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152). Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I ’lamul Muwaqqi’in (2/117). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
14. Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliau pun menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”.
15. Belalang.
Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan.
Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak tujuh peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
16. Kadal padang pasir (arab: dhobbun).
Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi ’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhobbun adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang dhobbun:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhobbun) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhobbun bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:
لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“ Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]
17. Landak.
Asy-Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi ’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu ’ (9/10).
18. Ash-shurod (1), kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“ Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seekor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.
19. Yarbu’. (2)
Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi ’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]
20. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“ Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali.” (HR. Muslim)
Adapun cicak dan termasuk di dalamnya tokek, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslin tentang anjuran membunuh wazag (cicak). (Lihat keterangan tambahan di: http://al-atsariyyah.com/?p=1161) [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
21. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).
Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan.
22. Siput (arab: halazun), serangga kecil, dan kelelawar.
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan sesuatupun dari jenis serangga, seperti: cicak (masuk juga tokek), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk, dan yang sejenis dengan mereka.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah Ta’ala, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’i kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih (misalnya ikan dan belalang maka dia boleh dimakan tanpa penyembelihan, pent.)”. (Lihat Al-Muhalla: 7/405)
Maka dari penjelasan Ibnu Hazm di atas kita bisa mengetahui tidak bolehnya memakan: kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk, dan semua serangga lainnya, wallahu a’lam.
Penyebutan jenis-jenis hewan di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa binatang yang haram atau yang halal untuk dimakan jumlahnya hanya sekitar itu. Akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.
Referensi:15. Belalang.
Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan.
Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak tujuh peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
16. Kadal padang pasir (arab: dhobbun).
Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi ’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhobbun adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang dhobbun:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhobbun) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhobbun bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:
لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“ Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]
17. Landak.
Asy-Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi ’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu ’ (9/10).
18. Ash-shurod (1), kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“ Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seekor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.
19. Yarbu’. (2)
Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi ’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]
20. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“ Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali.” (HR. Muslim)
Adapun cicak dan termasuk di dalamnya tokek, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslin tentang anjuran membunuh wazag (cicak). (Lihat keterangan tambahan di: http://al-atsariyyah.com/?p=1161) [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
21. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).
Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan.
22. Siput (arab: halazun), serangga kecil, dan kelelawar.
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan sesuatupun dari jenis serangga, seperti: cicak (masuk juga tokek), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk, dan yang sejenis dengan mereka.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah Ta’ala, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’i kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih (misalnya ikan dan belalang maka dia boleh dimakan tanpa penyembelihan, pent.)”. (Lihat Al-Muhalla: 7/405)
Maka dari penjelasan Ibnu Hazm di atas kita bisa mengetahui tidak bolehnya memakan: kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk, dan semua serangga lainnya, wallahu a’lam.
Penyebutan jenis-jenis hewan di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa binatang yang haram atau yang halal untuk dimakan jumlahnya hanya sekitar itu. Akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.
1. Al-Ath ’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan, cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh.
2. Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbit: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby.
3. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah.
4. Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.
_______________
(1) Ash-Shurod : sejenis burung.
(2) Yarbu’ : sejenis tikus.